Kisah Seorang Mualaf Menuju Hijrah Syar’i
Kisah Seorang Mualaf Menuju Hijrah Syar’i
Tak pernah
tepikirkan sebelumnya jika aku harus mengenakan khimar, menutup kepala dan
rambutku. Semua berawal dari ketertarikanku melihat kawan sekelasku berhijab,
aku pikir meraka terlihat cantik dan anggun memadukan warna pakaian dengan
khimarnya. Dan dari sanalah aku tertarik untuk mengikuti langkah teman-temanku
mengenakan busana tertutup dan memakai khimar. Aku mulai menabung untuk membeli
pakaian tertutup dan mengoleksi berbagai macam model dan warna khimar.
Alhamdulillah karena dulu aku sempat bekerja sebagai penyiar radio, dan dengan
gaji yang tidak seberapa, tetapi tetap aku syukuri karena dengan ni’matNya aku
bisa memenuhi apa yang menjadi kebutuhanku, termasuk pakaian tertutup yang aku
mau, semua karena niatku untuk berhijab. Meski pakaian yang aku kenakan dulu
jauh dari kata sempurna, masih mengenakan jeans dan pakaian ketat, serta khimar
yang tidak menutup dada sesuai dengan perintah Allah.
Perjuanganku belum dimulai, itu hanya sebatas kegemaranku
mengoleksi pakaian tertutup dan khimar, perjuanganku justru dimulai ketika aku
berpikir bagaimana caranya seorang wanita non muslim sepertiku bisa berhijab,
apa tanggapan tetangga dan teman-teman kampusku nanti ?? Tapi hal ini tidak
terlalu aku hiraukan, aku pikir justru mereka akan senang melihatku terlihat
sama seperti meraka, dan yang aku takutkan justru keluargaku, terutama Ibu.
Alasan apa yang harus aku beri untuk Ibuku ?? Ingin bibir ini berucap ‘Ibu, aku
ingin berhijab’ meskipun dulu niatku berhijab bukan untuk memenuhi kewajiban
sebagai muslimah untuk menutup auratnya tapi hanya sekedar fashion belaka. Aku
terus berfikir, hingga akhirnya aku menemukan alasan yang tepat untuk aku
berhijab.
Karena setiap hari aku berangkat ke kampus memakai kendaran
umum, yang tidak semua penumpangnya mengerti, selalu saja ada yang merokok, itu
membuatku sesak dan bau karena asapnya. Dari rumah bersolek habis-habisan dan
memakai minyak wangi tapi tetap saja ketika tiba dikampus wangi parfumku
berubah menjadi bau asap rokok. Itulah alasanku, agar rambutku tidak bau asap
rokok dan bau matahari jadi aku memutuskan menutup rambutku dengan khimar yang
diam-diam aku kumpulkan selama ini.
Hari pertama berhijab, rasanya aneh, ada sesuatu yang berlebihan
dikepalaku, aku harus terus menjaganya supaya tetap rapih, kemana-mana cermin
selalu aku bawa, aku takut khimarku berantakan dan aku tidak bisa merapihkannya
kembali.
Dikampus, apa yang aku duga ternyata tidak salah, teman-temanku
justru terlihat senang dengan penampilan baruku, tak sedikit dari meraka yang
memujiku, dan karena pujian dari merekalah aku semakin yakin dan bersemangat
untuk terus berhijab.
Seiring berjalannya waktu, hidayah itu perlahan kembali
menyapaku, aku pernah mendengar bahwa jika fisik ini terhijab secara otomatis
hatipun ikut terhijab dan hijab itulah yang akan mengekang kita untuk tidak
berbuat buruk.
Berawal dari ibu yang mengenalkanku dengan seorang pria yang
sama sekali tak terbayang olehku jika pria itulah yang sekarang menemani
hari-hariku, yang selalu membimbing aku menjadi wanita yang lebih baik, insyaAllah.
Dulu, sedikitpun tak ada rasa suka, cinta apalagi sayang
untuknya. Entahlah, aku tak tahu apa tujuan ibu mengenalkan pria itu untukku,
bukankah Ibu menginginkan aku menikah dengan pria yang memeluk agama sama
seperti kita. Kata Ibu pria itu baik, dia bijaksana, pekerja keras dan
bertanggung jawab, itu yang Ibu suka darinya meskipun kita berbeda agama.
Aku bingung, kesal dan merasa lelah, tak tahu apa yang harus aku
lakukan sementara Ibu semakin gencar mendekatkan aku dengan pria itu. Hingga
akhirnya aku meminta pendapat kepada seorang sahabat, dan dia menyarankan untuk
aku menuruti perintah Ibu dan membuka hati untuk pria itu. Dan aku berusaha
mencoba membuka hati ini untuk pria pilihan Ibu.
Benci jadi cinta, mungkin ini kalimat yang pas untuk mewakiliku
saat itu. Dulu aku yang sangat membenci pria itu justru sekarang aku sangat
mengaguminya. Dan disaat rasa cinta itu sedikit demi sedikit mulai tumbuh,
masalah baru muncul, Ibu berbalik menyuruhku untuk tidak dekat-dekat dengan
pria itu kecuali aku bisa mengajaknya memeluk agama yang kita anut. Aku bingung
justru ketika aku memutuskan berhijab dan membuka hatiku untuk pria itu, ada
getaran dihatiku untuk mengenal islam. tapi aku tak kuasa mengutarakan inginku
itu kepada Ibu.
Meski aku tau apa yang Ibu mau, tapi sepertinya aku tidak kuat
menahan sesuatu yang menarik-narik hatiku untuk terus mengenal islam. Dan
akhirnya aku memutuskan belajar islam secara diam-diam, aku memilih internet
dan orang-orang terdekat untuk aku ajak sharing tentang islam, hingga akhirnya
aktivitasku tercium oleh Ibu.
Amarahnya semakin memuncak ketika aku mengucapkan dua kalimat
syahadat dan melaksanakan kewajibanku sebagai manusia baru, yaitu shalat. Semua
itu berat untuk aku jalani, semenjak memutuskan berhijrah cobaan bertubi-tubi
menghampiriku, aku merasa bahwa keberadaanku dirumah dianggap tidak ada, aku
merasa asing dalam lingkungan keluargaku sendiri, diacuhkan dan didiamkan tanpa
pernah ada satu kalimat sekedar menanyakan keadaanku. Satu tahun berlalu, sunyi
itu mendekapku, sepi tanpa ada tegur sapa dan canda tawa dari Ibu.
Sebagai manusia biasa yang merasa tersakiti, aku selalu mencoba
untuk terus bersabar, meyakini bahwa ujian yang diturunkan kepada manusia
adalah sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing. Allah mengajarkan untuk
mengahadapinya dengan sabar dan shalat sebagai penolong, sesuai dengan
firmanNya dalam surat Al-Baqarah ayat 286 :
“Allah tidak akan membebani seseorang melainka sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan
mendapat siksa (dari kejahatan yang dikerjakannya)
Oleh karena itu aku ikhlas, meski semua mengasingkanku, tapi aku
memaklumi Ibu yang ketika itu menjadi sangat membenciku. Ibu mana yang mau
anaknya keluar dari agama yang dianggapnya benar.
Puncaknya ketika aku merasa kesabaranku sudah habis, aku sudah
tidak tahan berada dalam lingkunganku sendiri, aku memutuskan untuk pergi dari
rumah dan hanya meninggalkan sepucuk surat, agar kedua orang tuaku tidak
khawatir kalau aku akan baik-baik saja.
Pondok Pesantren Al-Muttaqin adalah tujuanku, disana aku memulai
hidup baru yang jauh berbeda dari hidupku yang sebelumnya. Hidup tanpa
handphone dan sosial media rasanya jendela dunia seperti tertutup untukku.
Tanpa alat komunikasi aku tak pernah tau bagaimana kabar diluar sana, bagaimana
kabar orangtuaku, bagaimana kabar adik-adikku, bagaimana kabar
sahabat-sahabatku, dan bagaimana kabar pria itu. Tapi lambat laun aku bisa
beradaptasi dengan lingkungan baruku, aku sudah terbiasa untuk belajar
mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sendiri, aku belajar hidup mandiri dan
belajar hidup sederhana. Semua dimulai dari nol aku belajar islam, dari
menghafalkan huruf hijaiyah, menulis dan membaca tulisan arab. Layaknya anak TK
yang sedang belajar membaca dan menulis, ada rasa malu ketika melihat santri
yang lain sudah sangat pandai, tapi aku buang jauh-jauh semua rasa malu itu,
aku harus berusaha jangan sampai pengorbananku meninggalkan rumah menjadi
sia-sia jika samasekali tak ada ilmu yang aku dapat.
Dipondok, busanaku tampak berbeda dengan mereka yang mengenakan
jilbab dan menjulurkan kerudungnya sampai menutupi dada. Aku bertanya kepada
salah satu santri wanita kenapa disini harus mengenakan jilbab atau rok dan
kereudung yang besar ?? Apakah tidak akan menghalangi aktivitas kita, mengingat
dipondok semua pekerjaan seperti mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu,
mengepel, bahkan membelah-belah kayu untuk dijadikan kayu bakar, busana syar’i
itu tetap dipakai. Kami boleh memakai baju lengan pendek dan tanpa kerudung
hanya didalam kamar tidur, itupun ada beberapa yang menutup rapat auratnya.
Di Al-Muttaqin kami diajarkan untuk menjadi muslimah sebenarnya,
berbusana sesuai syari’at, karena sesungguhnya busana syar’i itu memuliakan
wanita dan busana yang bisa menjaga diri kita dari perbuatan tidak baik..
Walaupun masih banyak muslimah yang beranggapan untuk apa berhijab tapi hatinya
busuk. Sejatinya mereka tidak paham, karena antara akhlak dan hijab adalah dua
perkara yanh berbeda. Hijab adalah mutlak perintah Allah, sedangkan akhlak
urusannya dengan hati, dan setiap orang memiliki wataknya masing-masing. Wanita
yang berhijab memang belum tentu sholehah tetapi wanita sholehah sudah tentu
berhijab. Setelah aku paham, akupun mulai meninggalkan khimar tipis dan pakaian
ketatku, mulai belajar mengenakan jilbab dan kerudung besar yang menutupi dada.
Dan ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan, aku merasa nyaman memakainya,
walaupun sedikit resah, aku takut jika berbusana seperti ini apa anggapan
orang-orang terhadapku, apa mereka akan menganggap aku golongan teroris dan
golongan orang-orang panatik. Dan ternyata benar ketika ada salah seorang
kerabat menjengukku dipondok, dia terkejut melihat perubahanku dan memandangku
penuh curiga.
Hari berganti minggu dan bulan, aku mendapat kejutan. Guruku
berkata seseorang ingin bertemu denganku, dengan hati penasaran aku terus
bertanya-tanya siapa yang mau menemuiku, apakah orang tuaku ?? Ditemani kedua
guruku dan teman terdekatku di pondok, aku menemui orang itu, dan tenyata dia
adalah pria yang selalu hadir dalam anganku setiap hari. Bukan cokelat, durian
atau ice cream kesukaanku yang pria itu bawa, tapi pria itu membawa cinta yang
tulus. Tak kusangka pria itu berani mengkhitbahku lewat guruku dipondok. Aku
pun menerima lamarannya karena aku tahu tidak baik menolak lamaran pria sholeh.
“Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama
dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian
menikahkannya dengan wanita kalian. Bila tidak akan terjadi fitnah dimuka bumi
dan kerusakan.” -HR At-Tirmidzi no 1085-
Perjuangan baru kembali dimulai, guruku menyarankan agar kita
menghadap orangtuaku untuk masalah ini, apapun hasilnya yang penting kita sudah
berusaha dan tidak mendahului mereka. Aku diijinkan untuk menelpon Ayahku,
sementara pria itu langsung menemui keluargaku dirumah. Alhamdulillah meski
tanpa restu ibu kami bisa melangsungkan pernikahan. Dan seiring berjalannya
waktu ketika kami dikaruniai putri kecil buah cinta kami, Ibupun mau menerimaku
kembali dan hubungan kami kembali seperti dulu. Terimakasih Ibu cintamu sungguh
luar biasa, engkau mampu mebuang amarahmu dan menerimaku kembali dalam
dekapanmu.
Dan setelah menikah, aku baru tahu mengapa suamiku dulu tak
menjauhiku padahal aku selalu berusaha untuk menjauh darinya. Semua karena
perbedaan agama kita yang membuat suamiku merasa tidak rela jika aku harus
merasakan panasnya api neraka karena kekafiranku. Terimakasih suamiku,
terimakasih Ibu, engkau memang tepat memilihkan suami dan Abi terbaik untukku
dan buah cinta kita.
Setelah menikah, dan duniaku kembali terasa indah, perjuanganku
belum berakhir. Kini tugasku mensyiarkan hijab syar’i kepada seluruh muslimah,
mengajak untuk berbusana yang Allah perintahkan dalam Al-qur’an surat An-Nur
ayat 30 :
“Dan katakanlah kepada perempuan beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan janganlah menampakan perhiasannya
(auratnya) kecuali yang (biasa) nampak dari pandangan dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya.”
dan surat Al-Ahzab ayat 59 :
“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu
dan istri-istri orang mukmin : ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
keseluruh tubuh mereka’ yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk
dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Semoga Allah selalu memberi kemudahan untukku, walaupun ketika
aku mencoba untuk membumikan hijab syar’i, ada segelintir orang yang
memandangku sebelah mata, karena melihat masalaluku, bakhan ada yang mengatakan
diri ini berlaga suci dan terlalu panatik. Semua itu tak aku hiraukan, karena
Allah berfirman dalam surat Al-a’raaf ayat 176 :
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika
kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itu perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu
agar mereka berfikir.”
Dan aku selalu mengingat nasihat seorang sahabat.
“selama kita berbicara sesuai Al-qur’an dan Hadist kita tidak
perlu takut, sesungguhnya meraka yang mencibir kita tidak tahu apa yang mereka
perbuat, mereka tidak sadar, bukan kitalah yang sedang mereka cibir, tapi
mereka sedang memberi protes penolakan terhadap perintah Allah. Bahkan
Rasulullah pun pernah mengalami penolakan dalam dakwahnya.”
Dan aku sangat menyadari, diri ini belumlah memiliki banyak ilmu
agama, akan tetapi aku selalu berusaha walaupun dengan ilmu yang sedikit ini,
aku ingin selalu hidup sesuai aturan Allah.
Karena yang aku tahu, ilmu yang sesungguhnya itu ialah yang
diamalkan. Dan insyaAllah, Allah lebih menyukai terhadap orang yang meskipun
ilmunya sedikit tapi ia konsisten dan sedikit demi sedikit mengamalkannya
daripada orang yang banyak menuntut ilmu tetapi ia sampai tak kuasa untuk
mengamalkannya.
Disetiap sujudku, aku selalu memohon semoga Allah tidak hanya
menyapaku, semoga orang-orang yang aku sayangi juga bisa menjemput hidayah Allah
yang begitu indah. Dan semoga aku bisa istiqamah dengan busana syar’i yang aku
kenakan sekarang supaya bisa menjadi contoh yang baik untuk putri kecilku dan
menjadi istri sholehah untuk suamiku. Karena Rasulullah bersabda :
“Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah
wanita shalihah.” -HR Muslim-
Kami ingin menanamkan rasa malu sejak dini untuk buah hati kami,
salah satunya tidak memamerkan aurat kepada sembarang mata, yaitu dengan
berbusana syar’i. Karena Allah berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 6 :
“Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”
Nama : Naila Azizah
Akun FB : Naila Azizah Bardani
Akun Twitter : Naila Azizah
Akun FB : Naila Azizah Bardani
Akun Twitter : Naila Azizah
https://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/kisah-seorang-mualaf-menuju-hijrah-syari.htm#.WlmOjN6E-So
0 komentar